NPM : 10514662
Kelas: 1PA10
Narsisisme
Oleh
Evi Sukmaningrum
Konsep
dan istilah narsisisme berawal dari sebuah mitologi Yunani kuno tentang seorang
pemuda tampan dari Thespian bernama Narsisus yang ditakdirkan untuk hidup
hingga ia melihat dirinya dan jatuh hati pada citra diri yang dilihatnya.
Berdasarkan
mitologi tersebut berkembanglah konsep narcisism (dalam tulisan ini
penulis menggunakan kata: narsisisme) yang pada mulanya digunakan untuk
menggambarkan orang yang jatuh cinta dengan citra dirinya sendiri atau suatu
bentuk hukuman bagi orang-orang yang tidak dapat mencintai orang lain. Pada
tahun 1899, Paul Nacke, seorang psikiater berkebangsaan Jerman menggunakan
istilah Narcismus yang merujuk pada “attitude of a person who treats his own
body in the same way as otherwise the body of sexual object is treated. ”.
Dengan perkataan lain , seseorang mengalami kenikmatan seksual pada saat menatap,
membelai dan mencintai tubuhnya. Konsep narsisisme dari Nacke inilah yang
kemudian menjadi dasar bagi konsep narsisisme yang digunakan oleh Freud (1914).
Dalam perkembangannya, pemahaman narsisisme dalam teori Freud tidak hanya
mengenai perilaku abnormal dalam kehidupan seksual individu, tetapi lebih
menekankan pada instink untuk melindungi diri sendiri (self perseveration)
yang ada pada setiap makhluk hidup.
Freud
(1914) menggambarkan konsep narsisisme dalam teorinya mengenai metapsikologi (metapsychological).
Konsep ini digunakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan libido normal
antara tahap autoerotik (autoeroticism) dan object love.
Narsisisme timbul ketika libido (energi psikis) diinvestasikan untuk memenuhi
kepuasan diri sendiri sehingga ada ketidakmampuan untuk menginvestasikannya
kepada orang lain atau demi kepentingan orang lain. Perilaku yang muncul
sebagai akibat dari narsisisme ini terlihat sebagai rasa cinta diri (self
love) yang berlebihan.
Selanjutnya,
di bidang klinis, Freud (dalam Raskin & Terry, 1988) menggunakan konsep
narsisime dalam kategori diagnostik untuk menggambarkan fenomena perilaku
sebagai berikut :
- Sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri, misalnya cinta terhadap diri sendiri (self love),
mengagumi diri sendiri (self admiration), membesar-besarkan diri
sendiri/ perilaku ekspansif (self aggrandizement)
- Kerentanan self esteem
seseorang yang meliputi ketakutan akan kehilangan cinta dan ketakutan akan
kegagalan
- Orientasi pertahanan diri yang
meliputi megalomania, idealisasi, penyangkalan (denial) dan
proyeksi
- Kebutuhan untuk dicintai,
memenuhi diri sendiri (self sufficiency) dan kebutuhan untuk
menjadi sempurna
- Dalam hubungan dengan orang
lain memperlihatkan sikap yang menunjukkan bahwa dirinya “lebih” dari
orang lain
Setiap
manusia memiliki 2 bentuk objek seksual yaitu : diri mereka sendiri dan wanita
yang merawatnya. Selanjutnya, Freud membuat postulat mengenai narsisisme primer
pada setiap orang dimana di kemudian hari akan dimanifestasikan melalui
dominasi pemilihan objek (object-choice) cinta.
Freud
(1914) membagi individu ke dalam 2 kelompok yang berbeda berdasarkan pemilihan
objek:
1.
Narcissistic Type
Pada
individu-individu yang mengalami gangguan pada perkembangan libidinal, seperti
pada homoseksual, dimana pemilihan objek cinta bukanlah ibunya melainkan diri
mereka sendiri. Mereka secara jelas melihat diri mereka sebagai objek cinta.
Berdasarkan
tipe narsisistik ini, maka seseorang mungkin akan memilih objek cinta :
- diri
mereka sendiri
- diri
mereka dahulu
- diri
yang diinginkan
- seseorang
yang dulu pernah menjadi bagian dari dirinya
2.
Anaclitic Type
Pengalaman
auto-erotic sexual gratification yang pertama terjadi ketika individu melakukan
self preservation. Yang muncul di awal adalah sexual instinct yang
kemudian dilanjutkan oleh ego-instinct; selanjutnya mereka terbebas dari
insting-insting tersebut dan mengubah objek seksual mereka ke dalam aktivitas feeding,
perhatian dan perlindungan yang diberikan oleh ibunya.
Berdasarkan
tipe anaclitik, maka seseorang mungkin akan memilih objek cinta :
- wanita
yang mengasuh/ merawatnya
- laki-laki
yang memberikan proteksi
Dinamika Narsisisme
Freud
berpendapat bahwa seorang bayi merasa dirinya sempurna dan sangat berpengaruh.
Ia memiliki pikiran yang terbatas dan tidak terbatas (omnipotence of thought).
Semua energi libido digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dan untuk
merawat keberadaannya. Investasi dasar dari energi ini diberi nama “Ego Libido”
atau narsistik. Insting-insting autoerotis adalah instink yang sifatnya
primodial dan melalui insting inilah narsisisme mulai muncul pada diri
individu. Selanjutnya, Freud membagi narsisisme menjadi 2, yaitu ;
1.
Narsisisme primer
Pada
narsisisme primer, energi libido diarahkan pada diri sendiri untuk memuaskan
diri sendiri. Pada saat tertentu, sesuai dengan perkembangannya, si bayi tidak
lagi menemukan kepuasan diri yang sempurna melalui pikirannya ini. Ia kemudian
mengalami interupsi dalam pemuasan narsisistiknya (narcissisistic
self-absorption). Pada akhirnya ia akan mengalihkan energi libidonya pada
orang lain untuk mencari kepuasan itu walaupun baginya kepuasan ini tidak
sesempurna yang pertama.
2.
Narsisisme sekunder
Sedangkan
pada narsisisme sekunder, investasi energi libido tersebut dialihkan kepada
orang lain tapi tetap dilakukan dengan tujuan untuk dapat memuaskan diri
sendiri.
Freud
(1911 dalam Siegel, 1996) mencoba untuk menerangkan perkembangan narsisisme ini
melalui studi mengenai psikosis. Freud mencoba menganalisis buku harian milik
Schreber, seorang hakim yang menulis buku harian pada saat ia mengalami episode
psikosis. Analisis Freud menggunakan buku harian tersebut yang menggambarkan
delusi paranoid yang dialami Schreber untuk mempelajari proses yang terjadi
dalam psikosis. Freud meyakini bahwa patologi mendasar dalam psikosis tersebut
adalah terjadinya regresi pada tahap narsistik dimana pada tahap itu tidak ada
kelekatan (attachment) terhadap objek. Freud membangun perkembangan
kontinum dari object attachment yang diawali dengan tahap narsistik (objectless)
dan bergerak menuju tahap objek cinta, suatu tahapan dimana objek tersebut
dicintai dan dihayati sebagai sesuatu yang terpisah.
Perkembangan Konsep Narsisisme
Konsep
narsisisme yang dikembangkan oleh Freud sangat mempengaruhi pemikiran
psikoanalisa modern. Salah satu pemahaman narsisisme dalam bidang klinis dari
perspektif psikoanalisa modern dapat ditemukan pada teori Kohut. Kohut (dalam
Siegel, 1996) melihat narsisime sebagai suatu tahapan perkembangan diri.
Sementara itu, manifestasi dari narsisisme yang tidak sehat adalah depresi dan
kehampaan perasaan sebagaimana ia temui pada beberapa pasiennya. Keluhan mereka
berkisar pada kemungkinan hilangnya makna dan gairah hidup mereka sehingga
mereka menjalani hidup dengan berat hati.
Menurut
Kohut, kebutuhan utama yang diperlukan dalam perkembangan narsisisme yang sehat
adalah
- kebutuhan untuk dicerminkan
yang dimanifestasikan melalui kebutuhan anak-anak untuk mendapatkan
pengakuan, persetujuan, dan kekaguman terhadap ekspresi dan perilaku
mereka. Orang yang paling penting untuk pencerminan ini adalah
ibu.
- kebutuhan untuk
mengidealisasikan yang dimanifestasikan melalui kekaguman dan identifikasi
pada orang dewasa yang lebih berkuasa. Orang yang paling diidealkan oleh
anak biasanya adalah ayahnya.
Berkaitan
dengan kontinum perkembangan narsistik dari Freud, maka Kohut berusaha untuk
menambahkan pemahaman narsisisme berdasarkan sudut pandangnya yang sedikit
berbeda dengan konsep obyek cinta pada Freud sebagai titik akhir dari
kematangan narsisisme. Bagi freud, penolakan dari narsisisme untuk kepentingan
obyek cinta adalah tujuan dari treatment Freud, sementara ide Kohut mengenai
narsisisme membawa pada implikasi terapetik.
Kohut
menyatakan bahwa pengalaman narsistik diawali pada masa dimana bayi mulai
merasakan kebahagiaan atau disebut juga infant’s blissful state. Bayi
berusaha untuk mempertahankan tahap ini dengan mengembangkan 2 bentuk narsistik
yang sempurna, dimana masing-masing sistem berkembang dari narsisisme primer
yang terpecah, yang selanjutnya sering dikenal sebagai bipolar self ;
1.
Narcissistic Self
Merupakan
satu sistem yang membuat suatu ‘perfect self’, suatu bentuk perkembangan dimana
segala sesuatu terlihat baik, menyenangkan dan sempurna sebagai bagian dari
dalam dirinya. Sementara itu, segala sesuatu yang buruk adalah bagian dari luar
dirinya. Narsisisme tidak diinvestasikan kepada orang lain melainkan
diinvestasikan untuk diri sendiri dengan memberikan penilaian yang terlalu
tinggi terhadap diri. Mereka berharap mendapatkan pandangan yang penuh
kekaguman dari orang lain. Narcissistic self sangat berkaitan erat
dengan dorongan-dorongan dan tekanan yang pada akhirnya memberikan kontribusi
pada munculnya ambisi.
2.
Idealized Parent Imago
Sistem
ini berusaha untuk mengembalikan blissful state yang hilang dengan cara
memberikan kekuasaan dan kesempurnaan yang absolut kepada orang lain. Kelekatan
dengan figur ‘perfect’ mengembalikan perasaan yang utuh dan menyenangkan.
Idealisasi dari idealized parent imago dihasilkan melalui proyeksi dari
kebahagiaan bayi; kekuasaan dan kesempurnaan, terhadap orang tuanya.
Idealized parent imago dipandang dengan penuh kekaguman sebagai objek yang
selanjutnya memberikan kontribusi pada munculnya figur ideal.
Kontekstualisasi Konsep Narsisisme
Dalam
era modern saat ini, narsisisme muncul sebagai cara untuk mengatasi tekanan dan
kecemasan yang dirasakan. Lasch (1979) menggunakan konsep narsisisme dalam
lingkup masyarakat yang luas. Suatu bentuk masyarakat baru membutuhkan bentuk
kepribadian yang baru dan cara sosialisasi yang baru. Pada saat masyarakat
memilih narsisisme, selanjutnya akan berkembang menjadi kondisi sosial yang
dapat meningkatkan trait narsistik yang ada dengan derajat yang berbeda-beda
pada setiap orang. Salah satu kondisi yang ada dalam masyarakat modern sekarang
ini hal-hal yang memiliki andil dalam membentuk masyarakat yang narsistik yaitu
:
- Perubahan
dalam nilai kesuksesan seseorang. Pada masyarakat modern, kesuksesan
seseorang dinilai dari kemampuannya untuk dapat menampilkan citra sukses,
bukan pada kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah ataupun tindakan
yang telah dilakukannya. Kesuksesan dinilai dari atribut yang dimiliki
seseorang, misalnya kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran yang dimiliki
(Lasch, 1979)
- Lowen
(1985) membahas narsisisme pada tingkat individual maupun tingkat budaya.
Pada tingkat budaya, narsisme dapat dilihat sebagai hilang atau
berkurangnya nilai-nilai kemanusiaan (loss of human values) yang
terlihat dari berkurangnya perhatian pada lingkungan, pada kualitas
kehidupan individual, dan nilai-nilai persahabatan yang ada di antara
individu.
Berangkat
dari pemikiran di atas, maka penelitian mengenai narsisisme di Indonesia
memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dengan melihat
keanekaragaman budaya Indonesia dan kecenderungan terjadinya perubahan nilai
yang terjadi di masyarakat modern. Media massa dan pariwara, tampaknya ikut
memberikan kontribusi dalam perubahan gaya hidup seseorang. Upaya pengembangan
penelitian di Indonesia dapat dilakukan untuk memahami, misalnya:
- Fenomena
narsisisme dalam budaya tertentu.
- Fenomena
narsisisme dalam ranah politik, pemerintahan dan pelanggaran/penegakan
hukum.
- Peran
masyarakat dan media massa dalam memberikan pengaruh pada berkembangnya
kepribadian narsisistik.
- Tokoh
dan penokohan: membentuk dan memelihara kepribadian narsistik.
- Keterkaitan
antara gaya hidup masyarakat modern dengan berkembangnya kepribadian
narsistik.
- Peran
pola asuh dalam memberikan pengaruh pada terbentuknya kepribadian
narsistik.
Daftar
Pustaka
Freud,
Sigmund. 1914. On Narcissism : An Introduction. New York : Basic Book,
Publishers
Lasch,
C. 1979. The Culture of Narcissism. American Life in an Age of Diminishing
Expectation. New York : W.W. Norton & Company
Raskin,
R., Howard Terry. 1988. A principal-components analysis of the Narcissistic
Personality Inventory and Further Evidence of Its Construct Validity. Journal
of Personality and Social Psychology, 54, 890 – 902
Siegel,
Alan M. 1996. Heinz Kohut and The Psychology of The Self. London : Clays.Ltd
Sumber
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/kepribadian-mainmenu-61/narsisisme
Analisis
1. Mengapa hal tersebut menjadi kreativitas
bagi kelompok anda
Hal tersebut kreatif menurut kami,
karena masalah yang dibahas diangkat dari Fenomena masa kini. Fenomena yang
terjadi pada kebanyakan orang saat ini
2. Bagaimana prospek jangka panjangya,
apakah dapat terus berkembang, berikan alasan
Prospek jangka panjangnya akan
terus berkembang seiring berkembangnya teknologi sehingga memudahkan
orang-orang untuk mengekspresikan dirinya.
- Tantangan apa yang akan
dihadapi untuk pengembangan atau jasa yang ditawarkan
Tantangannya harus selalu berusaha untuk tidak
merugikan orang lain dengan cara menjaga attitude, sehingga ke narsisannya
tidak menggangu orang lain. Untuk tidak menyalahgunakan dan tidak
disalahgunakan. Contohnya : Dalam pengeditan foto.
Pendidikan
Sebagai Sarana Penanaman Benih Karakter Anak Indonesia
PENDIDIKAN
SEBAGAI SARANA PENANAMAN BENIH KARAKTER ANAK INDONESIA
Keluarga
besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung Hari Pendidikan
Nasional bertema “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan
Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”
2 Mei 2015
Pembinaan karakter manusia
Indonesia sudah menunjukkan urgensi sehingga muncul berbagai gerakan yang
diharapkan dapat memperbaiki karakter individu. Semangat memperbaiki etos kerja
dan meningkatkan karakter pekerjanya nampak di berbagai instansi yang memasang
visi, misi dan filosofi kerja yang berlaku. Di sekolah-sekolah pun banyak
slogan dipampang untuk mengingatkan siswa agar belajar lebih rajin, lebih
disiplin, menjaga kebersihan dan kerapihan diri. Tujuannya agar peserta didik
ingat bahwa untuk menjadi lebih baik, mereka perlu menunjukkan
perilaku-perilaku tertentu. Pembentukan karakter harus melewati suatu proses
belajar yang membutuhkan latihan dan pengulangan.
Pada masyarakat tradisional,
pembentukan karakter dilakukan melalui penanaman rasa malu. Hal ini terlihat
dari penggunaan kata ora ilok, ngisin-isini dalam bahasa Jawa atau siri dalam
bahasa Bugis. Seorang anak berusaha mencapai nilai baik karena tidak ingin
merasa malu di hadapan teman-temannya, sehingga ia membiasakan diri untuk
memperhatikan guru, belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah agar tidak harus
malu atas kegagalan. Jika toh gagal, karakter perilaku yang baik ini tidak
membuatnya harus menanggung malu. Namun dalam prakteknya, masih banyak contoh
perilaku tidak berkarakter tersaji dalam keseharian, misalnya melanggar lampu
lalu lintas dan melawan arus di jalan raya; atau korupsi waktu-uang, bullying
terhadap rekan kerja dan sebagainya. Apakah sudah luntur rasa malu di
masyarakat kita, sehingga menyaksikan perilaku tak berkarakter menjadi
pemandangan yang biasa?
Secara psikologis rasa malu atau
rasa bersalah seseorang didasari oleh emosi moral yang terdiri dari emosi malu
dan emosi bersalah. Emosi moral diperlukan untuk menjembatani standar moral
yang dianut seseorang dengan perilaku moral yang ditampilkannya. Gambaran
pengetahuan dan internalisasi dari norma moral yang dimiliki oleh seorang
individu disebut sebagai standar moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007).
Standar moral yang dimiliki oleh seorang individu sebagian didikte oleh hukum
moral universal, dan sebagian lagi dibentuk oleh larangan-larangan spesifik
dalam sebuah budaya.
Menurut Tangney (1999), emosi
malu merupakan internalisasi emosi negatif yang dialami individu saat ia gagal
memenuhi aturan sosial. Emosi malu memunculkan perasaan negatif yang tidak
menyenangkan yang kemudian memotivasi individu untuk menghindar dan melarikan
diri dari situasi tersebut. Lingkungan sosial berperan penting dalam
memunculkan emosi malu. Keluarga atau lingkungan mengajarkan bahwa melakukan
sesuatu yang salah itu memalukan. Tracy dan Robins (2004) memandang emosi
bersalah justru mendorong individu untuk memperbaiki tindakannya, bukan
menghindar, artinya ada unsur konstruktif ketika seseorang merasa bersalah.
Untuk membangun karakter, emosi malu dan emosi bersalah sebagai bagian dari emosi moral sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan terkait dengan situasi sosial. Munculnya emosi malu dan emosi bersalah bersumber dan dipelajari dari keluarga, pendidikan, situasi kerja dan sebagainya. Benar-salah, baik-buruk seharusnya diajarkan secara eksplisit baik di rumah maupun di sekolah, bukan merupakan hidden curriculum. Dengan hanya menekankan penanaman emosi malu tanpa diikuti oleh bagaimana konstruksi karakter yang positif sebagai reaksi terhadap emosi malu tersebut, anak membangun pandangan diri negatif serta kurang/sulit mengembangkan harga diri.
Menurut Aristoteles, agar dapat
tertanam karakter yang baik pada individu, maka ia perlu memiliki kebajikan
intelektual, yaitu seseorang secara aktif melatih kemampuan nalarnya. Dengan
melatih kemampuan berpikir, maka seseorang dapat mengatur impuls-impuls dan
keinginannya menjadi lebih bijak dan menunjukkan karakter moral yang baik.
Keluarga dan sekolah sebagai setting pendidikan perlu mengajarkan standar
perilaku dan pengajarannya melalui aktivitas yang kontekstual, yaitu sesuai
dengan budaya dan nilai yang berlaku (Vygotsky, 1978).
Penanaman emosi moral secara
sistematis dapat dilakukan melalui pengembangan moral reasoning (penalaran
moral) anak. Penalaran moral merupakan proses sistematik yang dilakukan untuk
mengevaluasi kebajikan pribadi dan mengembangkan serangkaian prinsip moral
secara konsisten dan obyektif (Lumpkin, 2003, dalam Lumpkin, 2008). Caranya
dengan mulai mendiskusikan suatu isu secara aktif dalam berbagai situasi.
Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya anak secara aktif mengkonstruk
pikirannya, kemudian menilai situasi dan perilaku yang muncul sehingga anak
mengalami proses belajar yang bermakna.
Jika pemahaman di atas dikaitkan
dengan pembentukan karakter yang berdasarkan Pancasila untuk anak-anak
Indonesia melalui pendidikan, secara konkrit latihan pengembangan penalaran
moral dapat dilakukan misalnya guru, anak dan orangtua dapat berdiskusi,
berdebat, menyampaikan opini dan saran tentang suatu isu yang berkaitan dengan
moral. Salah satu contoh yang sering digunakan misalnya
“Bagaimana pendapatmu bila anak
mencuri obat sebagai bentuk cinta bagi orangtua yang sakit?”.
Latihan ini membantu anak
melatih penalaran moralnya berdasarkan argumen nilai moral yang ada pada ke-5
sila dalam Pancasila. Diharapkan melalui latihan ini, kesadaran moral akan
karakter yang baik dan diterima oleh lingkungan sosialnya menjadi bagian dari
pembelajaran yang menyenangkan dan terkondisi dengan kuat sejak usia muda dan
tidak mudah bergeser dalam situasi yang sulit karena dilakukan dengan penalaran
moral dan kesadaran penuh.
Benarkah melalui pendidikan
dapat tumbuh generasi berkarakter Pancasila? Salah satu unsur penting adalah
bahwa kita semua yang lebih dewasa mampu mendidik diri sendiri menjadi role
model karakter yang memancarkan jiwa Pancasila itu sendiri.
Ditulis oleh :
Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)
Disetujui oleh :
Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum HIMPSI
Sumber
:
Analisis
1. Mengapa
hal tersebut menjadi kreativitas bagi kelompok anda.
Karna pendidikan itu merupakan suatu cara untuk
mengembangkan keterampilan, kebiasaan, dan sikap-sikap yang diharapkan dapat
membuat seseorang menjadi warga Negara yang baik dengan karakter yang terdidik.
Hal tersebut kami anggap penting untuk di bahas,
karena melihat banyaknya kasus penelantaran anak dan kekerasan pada anak.
Seharusnya orang tua harus memberikan pendidikan yang baik sebagai sarana
penanaman benih karakter anak tersebut.
2. Bagaimana prospek jangka panjang, apakah dapat
terus berkembang. Berikan alasan
Prospek jangka panjangnya Pendidikan akan terus
berkembang seiring dengan berjalannya waktu, selain itu pendidikan di Indonesia
akan terus berkembang apabila kualitas para pendidik baik guru ataupun orang
tua semakin baik.
3. Tantangan apa yang akan di hadapi untuk
pengembangan/jasa yang ditawarkan.
Tantangannya Dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang
baik dan memperbaiki kualitas pendidikan baik guru ataupun orang tua.
Gerakan
Mata Bukan Indikator Seseorang Bohong Atau Tidak

Sebuah
penelitian telah dilakukan oleh peneliti kebangsaan Inggris dan Kanada
mengatakan, tidak ada hubungan antara gerakan bola mata ke kanan dan ke atas
dengan tanda-tanda seseorang sedang berbohong.
Begitu
juga sebaliknya, gerakan bola mata ke kiri dan ke atas sebagai tanda seseorang
jujur tidak terbukti.
Psikolog
dari Universitas Edinburgh, Caroline Watt, PhD yang menjadi peneliti dalam
studi ini mengatakan, “Sebagian besar masyarakat percaya bahwa gerakan mata
tertentu adalah tanda berbohong, dan ide ini bahkan diajarkan di kursus
pelatihan organisasi,” ungkap Watt, Senin (16/7).
Ia
menambahkan, penelitian mereka bukan memberikan dukungan dan sebagainya,
penelitian ini justru memberikan petunjuk untuk kembali melihat kebenaran dari
deteksi semacam ini.
Penelitian
ini dilakukan dalam tiga bagian, studi pertama dengan 32 partisipasi yang
mayoritas adalah mahasiswa. Mereka diperintahkan untuk menyembunyikan ponsel di
tempat tertentu. Masing-masing di wawancara untuk mengetahui siapa yang berkata
jujur dan tidak.
Setiap
peserta akan direkam untuk mengetahui gerakan bola mata dan tatapan mereka saat
diwawancara.
Hasilnya,
tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara gerakan bola mata mereka
dengan kebenaran atau kebohongan yang diungkapkan.
Namun,
gerakan tersebut tidak bisa diketahui hanya dari hitungan gerakan bola mata,
mungkin butuh seseorang yang sangat terlatih untuk melihat gerakan halus.
Hal
yang sama terbukti melalui penelitian ke dua, pada studi ini para peneliti
menunjuk 50 orang untuk dilatih membaca gerakan bola mata. Mereka ditunjukkan
pada sebuah video pada penelitian pertama untuk mendeteksi kebohongan.
Hasil
penelitian tersebut menunjukkan, gerakan mata tidak dapat menjadi acuan
seseorang itu berbohong atau tidak.
“Hasil
penelitian ini menjelaskan alasan yang cukup bahwa gerakan bola mata adalah
indikator yang buruk untuk deteksi kebohongan,” kata Watt. (ini/mba)
Sumber :
http://www.psikologizone.com/gerakan-mata-bukan-indikator-seseorang-bohong-atau-tidak/065116870
Analisis
:
1.
Mengapa
hal tersebut menjadi kreativitas bagi kelompok anda
Karena
menurut kelompok kami karana menyimpang dari teori micro ekspresion dalam ilmu
psikologi. Dalam micro ekspresion gerakan mata adalah salah satu indikator
penentuan seseorang berbohong atau tidak.
2.
Bagaimana
prospek jangka panjangya, apakah dapat terus berkembang, berikan alasan
Prospek
jangka panjangnya akan terus di pertanyakan kebenarannya seiring dengan
berkembangnya ilmu psikologi.
3.
Tantangan
apa yang akan dihadapi untuk pengembangan atau jasa yang ditawarkan
Tantangannya
harus membuktikan kebenaran hal tersdebut dan akan menerima banyak argument
dari seseorang yang berbeda anggapan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar