Jumat, 12 Juni 2015

Tugas Pengantar Kreativitas dan Keberbakatan: Artikel

Nama:   Ajeng Septiana
NPM :   10514662
Kelas:    1PA10


Narsisisme
Oleh Evi Sukmaningrum
Konsep dan istilah narsisisme berawal dari sebuah mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda tampan dari Thespian bernama Narsisus yang ditakdirkan untuk hidup hingga ia melihat dirinya dan jatuh hati pada citra diri yang dilihatnya.
Berdasarkan mitologi tersebut berkembanglah konsep narcisism (dalam tulisan ini penulis menggunakan kata: narsisisme) yang pada mulanya digunakan untuk menggambarkan orang yang jatuh cinta dengan citra dirinya sendiri atau suatu bentuk hukuman bagi orang-orang yang tidak dapat mencintai orang lain. Pada tahun 1899, Paul Nacke, seorang psikiater berkebangsaan Jerman menggunakan istilah Narcismus yang merujuk pada “attitude of a person who treats his own body in the same way as otherwise the body of sexual object is treated. ”. Dengan perkataan lain , seseorang mengalami kenikmatan seksual pada saat menatap, membelai dan mencintai tubuhnya. Konsep narsisisme dari Nacke inilah yang kemudian menjadi dasar bagi konsep narsisisme yang digunakan oleh Freud (1914). Dalam perkembangannya, pemahaman narsisisme dalam teori Freud tidak hanya mengenai perilaku abnormal dalam kehidupan seksual individu, tetapi lebih menekankan pada instink untuk melindungi diri sendiri (self perseveration) yang ada pada setiap makhluk hidup.
Freud (1914) menggambarkan konsep narsisisme dalam teorinya mengenai metapsikologi (metapsychological). Konsep ini digunakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan libido normal antara tahap autoerotik (autoeroticism) dan object love. Narsisisme timbul ketika libido (energi psikis) diinvestasikan untuk memenuhi kepuasan diri sendiri sehingga ada ketidakmampuan untuk menginvestasikannya kepada orang lain atau demi kepentingan orang lain. Perilaku yang muncul sebagai akibat dari narsisisme ini terlihat sebagai rasa cinta diri (self love) yang berlebihan.
Selanjutnya, di bidang klinis, Freud (dalam Raskin & Terry, 1988) menggunakan konsep narsisime dalam kategori diagnostik untuk menggambarkan fenomena perilaku sebagai berikut :
  • Sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, misalnya cinta terhadap diri sendiri (self love), mengagumi diri sendiri (self admiration), membesar-besarkan diri sendiri/ perilaku ekspansif (self aggrandizement)
  • Kerentanan self esteem seseorang yang meliputi ketakutan akan kehilangan cinta dan ketakutan akan kegagalan
  • Orientasi pertahanan diri yang meliputi megalomania, idealisasi, penyangkalan (denial) dan proyeksi
  • Kebutuhan untuk dicintai, memenuhi diri sendiri (self sufficiency) dan kebutuhan untuk menjadi sempurna
  • Dalam hubungan dengan orang lain memperlihatkan sikap yang menunjukkan bahwa dirinya “lebih” dari orang lain
Setiap manusia memiliki 2 bentuk objek seksual yaitu : diri mereka sendiri dan wanita yang merawatnya. Selanjutnya, Freud membuat postulat mengenai narsisisme primer pada setiap orang dimana di kemudian hari akan dimanifestasikan melalui dominasi pemilihan objek (object-choice) cinta.
Freud (1914) membagi individu ke dalam 2 kelompok yang berbeda berdasarkan pemilihan objek:
1. Narcissistic Type
Pada individu-individu yang mengalami gangguan pada perkembangan libidinal, seperti pada homoseksual, dimana pemilihan objek cinta bukanlah ibunya melainkan diri mereka sendiri. Mereka secara jelas melihat diri mereka sebagai objek cinta.
Berdasarkan tipe narsisistik ini, maka seseorang mungkin akan memilih objek cinta :
  1. diri mereka sendiri
  2. diri mereka dahulu
  3. diri yang diinginkan
  4. seseorang yang dulu pernah menjadi bagian dari dirinya 
2. Anaclitic Type
Pengalaman auto-erotic sexual gratification yang pertama terjadi ketika individu melakukan self preservation. Yang muncul di awal adalah sexual instinct yang kemudian dilanjutkan oleh ego-instinct; selanjutnya mereka terbebas dari insting-insting tersebut dan mengubah objek seksual mereka ke dalam aktivitas feeding, perhatian dan perlindungan yang diberikan oleh ibunya.
Berdasarkan tipe anaclitik, maka seseorang mungkin akan memilih objek cinta :
  1. wanita yang mengasuh/ merawatnya
  2. laki-laki yang memberikan proteksi 
Dinamika Narsisisme
Freud berpendapat bahwa seorang bayi merasa dirinya sempurna dan sangat berpengaruh. Ia memiliki pikiran yang terbatas dan tidak terbatas (omnipotence of thought). Semua energi libido digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dan untuk merawat keberadaannya. Investasi dasar dari energi ini diberi nama “Ego Libido” atau narsistik. Insting-insting autoerotis adalah instink yang sifatnya primodial dan melalui insting inilah narsisisme mulai muncul pada diri individu. Selanjutnya, Freud membagi narsisisme menjadi 2, yaitu ;
1. Narsisisme primer
Pada narsisisme primer, energi libido diarahkan pada diri sendiri untuk memuaskan diri sendiri. Pada saat tertentu, sesuai dengan perkembangannya, si bayi tidak lagi menemukan kepuasan diri yang sempurna melalui pikirannya ini. Ia kemudian mengalami interupsi dalam pemuasan narsisistiknya (narcissisistic self-absorption). Pada akhirnya ia akan mengalihkan energi libidonya pada orang lain untuk mencari kepuasan itu walaupun baginya kepuasan ini tidak sesempurna yang pertama.
2. Narsisisme sekunder
Sedangkan pada narsisisme sekunder, investasi energi libido tersebut dialihkan kepada orang lain tapi tetap dilakukan dengan tujuan untuk dapat memuaskan diri sendiri. 
Freud (1911 dalam Siegel, 1996) mencoba untuk menerangkan perkembangan narsisisme ini melalui studi mengenai psikosis. Freud mencoba menganalisis buku harian milik Schreber, seorang hakim yang menulis buku harian pada saat ia mengalami episode psikosis. Analisis Freud menggunakan buku harian tersebut yang menggambarkan delusi paranoid yang dialami Schreber untuk mempelajari proses yang terjadi dalam psikosis. Freud meyakini bahwa patologi mendasar dalam psikosis tersebut adalah terjadinya regresi pada tahap narsistik dimana pada tahap itu tidak ada kelekatan (attachment) terhadap objek. Freud membangun perkembangan kontinum dari object attachment yang diawali dengan tahap narsistik (objectless) dan bergerak menuju tahap objek cinta, suatu tahapan dimana objek tersebut dicintai dan dihayati sebagai sesuatu yang terpisah.
Perkembangan Konsep Narsisisme
Konsep narsisisme yang dikembangkan oleh Freud sangat mempengaruhi pemikiran psikoanalisa modern. Salah satu pemahaman narsisisme dalam bidang klinis dari perspektif psikoanalisa modern dapat ditemukan pada teori Kohut. Kohut (dalam Siegel, 1996) melihat narsisime sebagai suatu tahapan perkembangan diri. Sementara itu, manifestasi dari narsisisme yang tidak sehat adalah depresi dan kehampaan perasaan sebagaimana ia temui pada beberapa pasiennya. Keluhan mereka berkisar pada kemungkinan hilangnya makna dan gairah hidup mereka sehingga mereka menjalani hidup dengan berat hati.
Menurut Kohut, kebutuhan utama yang diperlukan dalam perkembangan narsisisme yang sehat adalah
  1. kebutuhan untuk dicerminkan yang dimanifestasikan melalui kebutuhan anak-anak untuk mendapatkan pengakuan, persetujuan, dan kekaguman terhadap ekspresi dan perilaku mereka. Orang yang paling penting untuk pencerminan ini adalah ibu.                                                                                                                  
  2. kebutuhan untuk mengidealisasikan yang dimanifestasikan melalui kekaguman dan identifikasi pada orang dewasa yang lebih berkuasa. Orang yang paling diidealkan oleh anak biasanya adalah ayahnya. 
Berkaitan dengan kontinum perkembangan narsistik dari Freud, maka Kohut berusaha untuk menambahkan pemahaman narsisisme berdasarkan sudut pandangnya yang sedikit berbeda dengan konsep obyek cinta pada Freud sebagai titik akhir dari kematangan narsisisme. Bagi freud, penolakan dari narsisisme untuk kepentingan obyek cinta adalah tujuan dari treatment Freud, sementara ide Kohut mengenai narsisisme membawa pada implikasi terapetik.
Kohut menyatakan bahwa pengalaman narsistik diawali pada masa dimana bayi mulai merasakan kebahagiaan atau disebut juga infant’s blissful state. Bayi berusaha untuk mempertahankan tahap ini dengan mengembangkan 2 bentuk narsistik yang sempurna, dimana masing-masing sistem berkembang dari narsisisme primer yang terpecah, yang selanjutnya sering dikenal sebagai bipolar self ;
1. Narcissistic Self
Merupakan satu sistem yang membuat suatu ‘perfect self’, suatu bentuk perkembangan dimana segala sesuatu terlihat baik, menyenangkan dan sempurna sebagai bagian dari dalam dirinya. Sementara itu, segala sesuatu yang buruk adalah bagian dari luar dirinya. Narsisisme tidak diinvestasikan kepada orang lain melainkan diinvestasikan untuk diri sendiri dengan memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap diri. Mereka berharap mendapatkan pandangan yang penuh kekaguman dari orang lain. Narcissistic self sangat berkaitan erat dengan dorongan-dorongan dan tekanan yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada munculnya ambisi.
2. Idealized Parent Imago
Sistem ini berusaha untuk mengembalikan blissful state yang hilang dengan cara memberikan kekuasaan dan kesempurnaan yang absolut kepada orang lain. Kelekatan dengan figur ‘perfect’ mengembalikan perasaan yang utuh dan menyenangkan. Idealisasi dari idealized parent imago dihasilkan melalui proyeksi dari kebahagiaan bayi; kekuasaan dan kesempurnaan, terhadap orang tuanya. Idealized parent imago dipandang dengan penuh kekaguman sebagai objek yang selanjutnya memberikan kontribusi pada munculnya figur ideal.

Kontekstualisasi Konsep Narsisisme
Dalam era modern saat ini, narsisisme muncul sebagai cara untuk mengatasi tekanan dan kecemasan yang dirasakan. Lasch (1979) menggunakan konsep narsisisme dalam lingkup masyarakat yang luas. Suatu bentuk masyarakat baru membutuhkan bentuk kepribadian yang baru dan cara sosialisasi yang baru. Pada saat masyarakat memilih narsisisme, selanjutnya akan berkembang menjadi kondisi sosial yang dapat meningkatkan trait narsistik yang ada dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap orang. Salah satu kondisi yang ada dalam masyarakat modern sekarang ini hal-hal yang memiliki andil dalam membentuk masyarakat yang narsistik yaitu :
    • Perubahan dalam nilai kesuksesan seseorang. Pada masyarakat modern, kesuksesan seseorang dinilai dari kemampuannya untuk dapat menampilkan citra sukses, bukan pada kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah ataupun tindakan yang telah dilakukannya. Kesuksesan dinilai dari atribut yang dimiliki seseorang, misalnya kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran yang dimiliki (Lasch, 1979)
    • Lowen (1985) membahas narsisisme pada tingkat individual maupun tingkat budaya. Pada tingkat budaya, narsisme dapat dilihat sebagai hilang atau berkurangnya nilai-nilai kemanusiaan (loss of human values) yang terlihat dari berkurangnya perhatian pada lingkungan, pada kualitas kehidupan individual, dan nilai-nilai persahabatan yang ada di antara individu.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka penelitian mengenai narsisisme di Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dengan melihat keanekaragaman budaya Indonesia dan kecenderungan terjadinya perubahan nilai yang terjadi di masyarakat modern. Media massa dan pariwara, tampaknya ikut memberikan kontribusi dalam perubahan gaya hidup seseorang. Upaya pengembangan penelitian di Indonesia dapat dilakukan untuk memahami, misalnya:
    • Fenomena narsisisme dalam budaya tertentu.
    • Fenomena narsisisme dalam ranah politik, pemerintahan dan pelanggaran/penegakan hukum.
    • Peran masyarakat dan media massa dalam memberikan pengaruh pada berkembangnya kepribadian narsisistik.
    • Tokoh dan penokohan: membentuk dan memelihara kepribadian narsistik.
    • Keterkaitan antara gaya hidup masyarakat modern dengan berkembangnya kepribadian narsistik.
    • Peran pola asuh dalam memberikan pengaruh pada terbentuknya kepribadian narsistik.

Daftar Pustaka
Freud, Sigmund. 1914. On Narcissism : An Introduction. New York : Basic Book, Publishers
Lasch, C. 1979. The Culture of Narcissism. American Life in an Age of Diminishing Expectation. New York : W.W. Norton & Company
Raskin, R., Howard Terry. 1988. A principal-components analysis of the Narcissistic Personality Inventory and Further Evidence of Its Construct Validity. Journal of Personality and Social Psychology, 54, 890 – 902
Siegel, Alan M. 1996. Heinz Kohut and The Psychology of The Self. London : Clays.Ltd

Sumber
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/kepribadian-mainmenu-61/narsisisme



Analisis
1.      Mengapa hal tersebut menjadi kreativitas bagi kelompok anda
Hal tersebut kreatif menurut kami, karena masalah yang dibahas diangkat dari Fenomena masa kini. Fenomena yang terjadi pada kebanyakan orang saat ini
2.      Bagaimana prospek jangka panjangya, apakah dapat terus berkembang, berikan alasan
Prospek jangka panjangnya akan terus berkembang seiring berkembangnya teknologi sehingga memudahkan orang-orang untuk mengekspresikan dirinya.
  1. Tantangan apa yang akan dihadapi untuk pengembangan atau jasa yang ditawarkan
Tantangannya harus selalu berusaha untuk tidak merugikan orang lain dengan cara menjaga attitude, sehingga ke narsisannya tidak menggangu orang lain. Untuk tidak menyalahgunakan dan tidak disalahgunakan. Contohnya : Dalam pengeditan foto.









Pendidikan Sebagai Sarana Penanaman Benih Karakter Anak Indonesia

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PENANAMAN BENIH KARAKTER ANAK INDONESIA
Keluarga besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung Hari Pendidikan Nasional bertema “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”
2 Mei 2015
Pembinaan karakter manusia Indonesia sudah menunjukkan urgensi sehingga muncul berbagai gerakan yang diharapkan dapat memperbaiki karakter individu. Semangat memperbaiki etos kerja dan meningkatkan karakter pekerjanya nampak di berbagai instansi yang memasang visi, misi dan filosofi kerja yang berlaku. Di sekolah-sekolah pun banyak slogan dipampang untuk mengingatkan siswa agar belajar lebih rajin, lebih disiplin, menjaga kebersihan dan kerapihan diri. Tujuannya agar peserta didik ingat bahwa untuk menjadi lebih baik, mereka perlu menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Pembentukan karakter harus melewati suatu proses belajar yang membutuhkan latihan dan pengulangan.
Pada masyarakat tradisional, pembentukan karakter dilakukan melalui penanaman rasa malu. Hal ini terlihat dari penggunaan kata ora ilok, ngisin-isini dalam bahasa Jawa atau siri dalam bahasa Bugis. Seorang anak berusaha mencapai nilai baik karena tidak ingin merasa malu di hadapan teman-temannya, sehingga ia membiasakan diri untuk memperhatikan guru, belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah agar tidak harus malu atas kegagalan. Jika toh gagal, karakter perilaku yang baik ini tidak membuatnya harus menanggung malu. Namun dalam prakteknya, masih banyak contoh perilaku tidak berkarakter tersaji dalam keseharian, misalnya melanggar lampu lalu lintas dan melawan arus di jalan raya; atau korupsi waktu-uang, bullying terhadap rekan kerja dan sebagainya. Apakah sudah luntur rasa malu di masyarakat kita, sehingga menyaksikan perilaku tak berkarakter menjadi pemandangan yang biasa?
Secara psikologis rasa malu atau rasa bersalah seseorang didasari oleh emosi moral yang terdiri dari emosi malu dan emosi bersalah. Emosi moral diperlukan untuk menjembatani standar moral yang dianut seseorang dengan perilaku moral yang ditampilkannya. Gambaran pengetahuan dan internalisasi dari norma moral yang dimiliki oleh seorang individu disebut sebagai standar moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Standar moral yang dimiliki oleh seorang individu sebagian didikte oleh hukum moral universal, dan sebagian lagi dibentuk oleh larangan-larangan spesifik dalam sebuah budaya.
Menurut Tangney (1999), emosi malu merupakan internalisasi emosi negatif yang dialami individu saat ia gagal memenuhi aturan sosial. Emosi malu memunculkan perasaan negatif yang tidak menyenangkan yang kemudian memotivasi individu untuk menghindar dan melarikan diri dari situasi tersebut. Lingkungan sosial berperan penting dalam memunculkan emosi malu. Keluarga atau lingkungan mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang salah itu memalukan. Tracy dan Robins (2004) memandang emosi bersalah justru mendorong individu untuk memperbaiki tindakannya, bukan menghindar, artinya ada unsur konstruktif ketika seseorang merasa bersalah.

Untuk membangun karakter, emosi malu dan emosi bersalah sebagai bagian dari emosi moral sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan terkait dengan situasi sosial. Munculnya emosi malu dan emosi bersalah bersumber dan dipelajari dari keluarga, pendidikan, situasi kerja dan sebagainya. Benar-salah, baik-buruk seharusnya diajarkan secara eksplisit baik di rumah maupun di sekolah, bukan merupakan hidden curriculum. Dengan hanya menekankan penanaman emosi malu tanpa diikuti oleh bagaimana konstruksi karakter yang positif sebagai reaksi terhadap emosi malu tersebut, anak membangun pandangan diri negatif serta kurang/sulit mengembangkan harga diri.
Menurut Aristoteles, agar dapat tertanam karakter yang baik pada individu, maka ia perlu memiliki kebajikan intelektual, yaitu seseorang secara aktif melatih kemampuan nalarnya. Dengan melatih kemampuan berpikir, maka seseorang dapat mengatur impuls-impuls dan keinginannya menjadi lebih bijak dan menunjukkan karakter moral yang baik. Keluarga dan sekolah sebagai setting pendidikan perlu mengajarkan standar perilaku dan pengajarannya melalui aktivitas yang kontekstual, yaitu sesuai dengan budaya dan nilai yang berlaku (Vygotsky, 1978).
Penanaman emosi moral secara sistematis dapat dilakukan melalui pengembangan moral reasoning (penalaran moral) anak. Penalaran moral merupakan proses sistematik yang dilakukan untuk mengevaluasi kebajikan pribadi dan mengembangkan serangkaian prinsip moral secara konsisten dan obyektif (Lumpkin, 2003, dalam Lumpkin, 2008). Caranya dengan mulai mendiskusikan suatu isu secara aktif dalam berbagai situasi. Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya anak secara aktif mengkonstruk pikirannya, kemudian menilai situasi dan perilaku yang muncul sehingga anak mengalami proses belajar yang bermakna.
Jika pemahaman di atas dikaitkan dengan pembentukan karakter yang berdasarkan Pancasila untuk anak-anak Indonesia melalui pendidikan, secara konkrit latihan pengembangan penalaran moral dapat dilakukan misalnya guru, anak dan orangtua dapat berdiskusi, berdebat, menyampaikan opini dan saran tentang suatu isu yang berkaitan dengan moral. Salah satu contoh yang sering digunakan misalnya
“Bagaimana pendapatmu bila anak mencuri obat sebagai bentuk cinta bagi orangtua yang sakit?”.
Latihan ini membantu anak melatih penalaran moralnya berdasarkan argumen nilai moral yang ada pada ke-5 sila dalam Pancasila. Diharapkan melalui latihan ini, kesadaran moral akan karakter yang baik dan diterima oleh lingkungan sosialnya menjadi bagian dari pembelajaran yang menyenangkan dan terkondisi dengan kuat sejak usia muda dan tidak mudah bergeser dalam situasi yang sulit karena dilakukan dengan penalaran moral dan kesadaran penuh.
Benarkah melalui pendidikan dapat tumbuh generasi berkarakter Pancasila? Salah satu unsur penting adalah bahwa kita semua yang lebih dewasa mampu mendidik diri sendiri menjadi role model karakter yang memancarkan jiwa Pancasila itu sendiri.

Ditulis oleh :
 Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)
Disetujui oleh :
Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum HIMPSI
Sumber :


Analisis
1.      Mengapa hal tersebut menjadi kreativitas bagi kelompok anda.
Karna pendidikan itu merupakan suatu cara untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan, dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi warga Negara yang baik dengan karakter yang terdidik.
Hal tersebut kami anggap penting untuk di bahas, karena melihat banyaknya kasus penelantaran anak dan kekerasan pada anak. Seharusnya orang tua harus memberikan pendidikan yang baik sebagai sarana penanaman benih karakter anak tersebut.

2. Bagaimana prospek jangka panjang, apakah dapat terus berkembang. Berikan alasan
Prospek jangka panjangnya Pendidikan akan terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu, selain itu pendidikan di Indonesia akan terus berkembang apabila kualitas para pendidik baik guru ataupun orang tua semakin baik.

3. Tantangan apa yang akan di hadapi untuk pengembangan/jasa yang ditawarkan.
Tantangannya Dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang baik dan memperbaiki kualitas pendidikan baik guru ataupun orang tua.




Gerakan Mata Bukan Indikator Seseorang Bohong Atau Tidak



Psikologi Zone, Jakarta – Banyak orang mengira kebohongan mudah diketahui hanya dengan melihat gerakan bola mata. Pasalnya gerakan mata seseorang juga dapat dimanipulasi oleh diri mereka sendiri.
Sebuah penelitian telah dilakukan oleh peneliti kebangsaan Inggris dan Kanada mengatakan, tidak ada hubungan antara gerakan bola mata ke kanan dan ke atas dengan tanda-tanda seseorang sedang berbohong.
Begitu juga sebaliknya, gerakan bola mata ke kiri dan ke atas sebagai tanda seseorang jujur tidak terbukti.
Psikolog dari Universitas Edinburgh, Caroline Watt, PhD yang menjadi peneliti dalam studi ini mengatakan, “Sebagian besar masyarakat percaya bahwa gerakan mata tertentu adalah tanda berbohong, dan ide ini bahkan diajarkan di kursus pelatihan organisasi,” ungkap Watt, Senin (16/7).
Ia menambahkan, penelitian mereka bukan memberikan dukungan dan sebagainya, penelitian ini justru memberikan petunjuk untuk kembali melihat kebenaran dari deteksi semacam ini.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian, studi pertama dengan 32 partisipasi yang mayoritas adalah mahasiswa. Mereka diperintahkan untuk menyembunyikan ponsel di tempat tertentu. Masing-masing di wawancara untuk mengetahui siapa yang berkata jujur dan tidak.
Setiap peserta akan direkam untuk mengetahui gerakan bola mata dan tatapan mereka saat diwawancara.
Hasilnya, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara gerakan bola mata mereka dengan kebenaran atau kebohongan yang diungkapkan.
Namun, gerakan tersebut tidak bisa diketahui hanya dari hitungan gerakan bola mata, mungkin butuh seseorang yang sangat terlatih untuk melihat gerakan halus.
Hal yang sama terbukti melalui penelitian ke dua, pada studi ini para peneliti menunjuk 50 orang untuk dilatih membaca gerakan bola mata. Mereka ditunjukkan pada sebuah video pada penelitian pertama untuk mendeteksi kebohongan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, gerakan mata tidak dapat menjadi acuan seseorang itu berbohong atau tidak.
“Hasil penelitian ini menjelaskan alasan yang cukup bahwa gerakan bola mata adalah indikator yang buruk untuk deteksi kebohongan,” kata Watt. (ini/mba)

Sumber :
http://www.psikologizone.com/gerakan-mata-bukan-indikator-seseorang-bohong-atau-tidak/065116870


Analisis :
1.      Mengapa hal tersebut menjadi kreativitas bagi kelompok anda
Karena menurut kelompok kami karana menyimpang dari teori micro ekspresion dalam ilmu psikologi. Dalam micro ekspresion gerakan mata adalah salah satu indikator penentuan seseorang berbohong atau tidak.
2.      Bagaimana prospek jangka panjangya, apakah dapat terus berkembang, berikan alasan
Prospek jangka panjangnya akan terus di pertanyakan kebenarannya seiring dengan berkembangnya ilmu psikologi.
3.      Tantangan apa yang akan dihadapi untuk pengembangan atau jasa yang ditawarkan
Tantangannya harus membuktikan kebenaran hal tersdebut dan akan menerima banyak argument dari seseorang yang berbeda anggapan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar